TV ONLINE INDONESIA
Kukejar Cintaku Ke Bandung Film Online
Kukejar Cintaku Ke Bandung Film Online Farah (Ida Ayu Kadek Devi) bangun dengan perasaan bahagia. Karena hari ini tepat 2 tahun hari jadinya bersama Ian (Mario Faraddy) anak band / mahasiswa yang tinggal di Bandung. Farah berencana akan memeberi kejutan dengan menyusul Ian ke Bandung. Rencana ini di tentang oleh Sandra (GL Elia Rosa Ambarwangi) sahabatnya yang tinggal di Bandung. Setiba di Bandung Farah terkejut melihat Ian bersama seorang perempuan di dalam kamarnya dan Farahpun langsung meninggalkan Ian. Ditengah perjalanan Farah tertabrak motor yang dikendarai oleh Rony (Ibnu Jamil). Setelah di diagnosa dokter, Farah tidak mengalami luka serius. Rony yang merasa bersalah berusaha untuk membuat Farah bisa tersenyum kembali. Rony mengajak Farah berkeliling kota Bandung. Akhirnya Farah mulai lunak, ia pun membuka diri pada Rony. Rony pun mulai jatuh cinta. Tapi secara tak sengaja mereka bertemu kembali dengan Ian dan Sandra, Ian berusaha merayu dan membujuk Farah untuk kembali kepadanya, akankah Farah menerima kembali Ian sebagai kekasihnya..? Dan bagaimana nasib Rony selanjutnya? Film Online Kukejar Cintaku Ke Bandung
Film Ratu Kost Mopolitan online bioskop21
"Cantik.. Jagoan.. Ngekost tetep ngutang!"
Hari ini saya berkesempatan untuk menyaksikan gala premiere film Ratu KOSTmopolitan. Film ini disutradarai oleh Ody C. Harahap yang sudah pernah menyutradarai beberapa film Indonesia seperti Alexandria (2005), Selamanya (2007), Kawin Kontrak (2008), Kawin Kontrak Lagi (2008), dan Punk in Love (2009). Sebelumnya saya belum pernah menyaksikan film besutannya sama sekali. Maka ini adalah film pertamanya yang saya tonton. Saya sebetulnya kurang tertarik dengan film ini, malah saya tidak terlalu 'ngeh' akan adanya film ini. Maklum, saya memang jarang mengikuti perkembangan film Indonesia karena lebih sering dikecewakan. Akhir-akhir ini film Indonesia kebanyakan menjual aurat tubuh dan hantu asal-asalan dibanding kualitas cerita dan akting pemain. Tapi karena gratisan saya pun tidak menolak untuk mencoba menonton film ini. :)
Ratu KOSTmopolitan bercerita tentang tiga anak kost di Jakarta yang masing-masing berasal dari daerah berbeda, ada Gina (Luna Maya), Tari (Tyas Mirasih), dan Zizi (Imey Liem). Gina bekerja sambilan sebagai seorang wartawan, Tari sebagai guru aerobik, lalu Zizi sebagai seniman tattoo. Mereka bertiga banting tulang bekerja di Jakarta. Kehidupan di Jakarta memang keras, untuk membayar uang kost saja mereka sering telat. Untungnya, ibu kost mereka, Ibu Laksmi (Yatti Surachman) adalah ibu kost yang baik. Mereka boleh mengutang, bayar seadanya dulu, bahkan masih disediakan makanan. Mereka bertiga juga punya gebetan bernama Seno (Fathir Mochtar) yang tinggal tidak jauh dari kost. Suatu hari datang segerombolan preman yang diketuai Rido (Reza Pahlevi) yang mengganggu ketenangan daerah tempat kost mereka. Atas perintah bosnya yang kaya, Rido juga mengatakan bahwa warga disana harus menjual rumah mereka atau kalau mereka tidak mau, mereka terpaksa harus digusur paksa. Tiga anak kost ini tidak tinggal diam, mereka lalu membuat rencana konyol melawan para preman tersebut agar tempat yang mereka itu tidak diganggu lagi.
Cerita film ini sebetulnya tidak istimewa dan gampang tertebak, namun beruntung film ini dibintangi oleh para pemain yang 'bisa akting' dan sedap dipandang mata. Para pemeran utama film ini seperti Luna Maya, Tyas Mirasih, Imey Liem, Fathir Mochtar, dan Reza Pahlevi menjalankan perannya dengan sangat baik. Mereka semua jelas bisa berakting. Meskipun Tyas Mirasih lebih sering mengambil peran-peran yang memamerkan keindahan tubuh, akan tetapi aktingnya disini bisa dibilang baik. Imey Liem yang notabene pendatang baru malah berhasil mencuri perhatian dengan tingkah dan tampangnya yang nyeleneh. Luna Maya yang sudah bisa dibilang lebih 'senior' dari yang lainnya juga berhasil kembali bermain baik disini. Para aktor dan aktris senior dalam film ini juga patut diacungi jempol. Sang ibu kost, Yatti Surachman, sangat cocok sekali dengan karakter yang dimainkan. Secara keseluruhan saya lumayan terhibur dengan film ini. Memang ada beberapa bagian yang terkesan 'maksa', tapi itu bisa termaafkan karena saya tertawa menontonnya. Selain itu, film ini juga mengangkat isu sosial yang marak terjadi di Indonesia, disertai keanekaragaman suku yang berhasil diangkat kedalam film. Kalau pengen nonton yang ringan bisa coba tonton film ini.
Film Online Republik Twitter
Republik Twitter
Jenis Film: Drama
Produser: Ajish Dibyo
Produksi: Rupakata Cinema dan Amalina Pictures
Sutradara: Kuntz Agus
Sinopsis: “Sekarang ini, suara rakyat itu suara twitter”
Kalimat itu diucapkan oleh Kemal (Tio Pakusadewo), yang bekerja sebagai Konsultan Komunikasi, kepada Arif Cahyadi (Leroy Osman), seorang pengusaha, yang namanya mendadak jadi trending topic di twitter. Keberhasilan Kemal mengangkat nama Arif di dunia maya, lantas membuatnya mendorong Arif untuk maju dalam pencalonan gubernur DKI Jakarta. Sukses Kemal itu ternyata berkat kepiawaian seorang pemuda bernama Sukmo (Abimana Aryasetya) yang tekun dan lihai mengolah 140 kata.
Sukmo, mahasiswa tahun akhir di Jogjakarta, awalnya datang ke Jakarta untuk mengejar komitmen cinta dari seorang wartawan cantik bernama Hanum (Laura Basuki). Keduanya saling kenal lewat twitter. Dari twitter, Hanum menantang Sukmo untuk bertemu di Jakarta. Andre (Ben Kasyafani), teman satu kos Sukmo yang berasal dari Jakarta, mencibir rencana Sukmo. Sementara Rika (Jennifer Arnelita), rekan kerja Hanum, juga menasehati Hanum untuk tidak mempercayai hubungan yang dimulai dari dunia maya
Sukmo diminta mengelola akun twitter “orang-orang penting”, termasuk menjadikan Arif Cahyadi trending topics sesuai dengan perintah yang diberikan oleh Kemal. Dalam tempo singkat Sukmo mendapatkan uang yang lumayan sehingga dia cukup percaya diri untuk bertemu dengan Hanum. Di luar perkiraan Sukmo, begitu melihatnya bergaya Jakarta, Hanum hilang selera. Bayangannya tentang Sukmo yang asik dan cuek sirna. Sukmo lebih kecewa lagi apalagi mengetahui Hanum hendak mengundurkan diri jadi wartawan, profesi yang dia kagumi dari perempuan itu. Dari sekedar ingin mendapatkan komitmen cinta Hanum, Sukmo bertekad untuk membatalkan keinginan Hanum mundur. Dia punya berita besar untuk dijadikan liputan utama oleh Hanum. Tetapi berita besar itu justru membuat Sukmo harus berhadapan dengan ambisi Kemal, reputasi Farid Cahyadi, kepercayaan Belo dan bahkan persahabatannya dengan Nadya (Enzy Storia)
Film online Naga Bonar Jadi 2
“Sesudah menonton film ini, saya bangga menjadi orang Indonesia”.
Kalimat itu diucapkan oleh dua penonton berbeda sesudah menonton dua film berbeda di tahun 2007 lalu. Mereka menyatakannya sesudah menonton film Nagabonar Jadi 2 (Deddy Mizwar) dan Kala (Joko Anwar). Kedua film itu menghasilkan reaksi serupa. Kenapa? Lebih menggelitik lagi, memang adakah “Indonesia” dalam kedua film tersebut?
Mencari sebuah kolektivitas bernama negara bangsa dalam sebuah film seharusnya bukan merupakan proses yang kelewat rumit. Beberapa akademisi dan kritikus memang menggunakan pendekatan faktual yang menyatakan bahwa apa yang ada di layar itulah sesungguhnya wajah kita. Layar hanya cermin saja bagi apa yang sebenarnya menjadi impian dan idealisasi kita (secara sadar ataupun tidak).
Pendekatan lain menghindar cara berpikir demikian. Mengidentikkan gambaran di layar dengan diri sendiri berarti tunduk pada selera massa yang mudah dikendalikan oleh rangsangan instan terhadap impuls manusia. Film sebagai media yang larger-than-life selalu punya perangkat paling lengkap dan efektif dalam mengendalikan impuls itu. Maka penyerupaan layar film dengan wajah kita adalah sebuah misrepresentasi yang berbahaya, karena di dalamnya terkandung penghindaran terhadap soal-soal yang berada di luar jangkauan impuls yang instan itu. Perenungan dan kompleksitas serta penghadiran dimensi kerap ditundukkan di bawah kepentingan mencari keuntungan saja.
Wajah kolektif sebuah bangsa dan masyarakat sedikit banyaknya memang tetap tercermin dalam film. Siegfried Kracauer ketika membahas film Jerman pra-Hitler: ia melihat bahwa film sebagai usaha kreatif kolektif pastilah menghadirkan gambaran kehidupan kolektif juga. Interaksi antarawak pembuat film adalah interaksi kreatif yang akhirnya akan membuat gambaran yang tampil di layar merupakan hasil kerja kolektif. Pendekatan ini juga tak memuaskan, mengingat peran pengambil keputusan yang tak imbang antara satu posisi pekerja film dengan lainnya.
Namun aspek kolektivitas pada film tetap merupakan sesuatu yang penting mengingat kemampuan film menghadirkan interaksi sosial baik di layar maupun dalam proses di balik layar. Berangkat dari interaksi sosial di layar, abstraksi terhadap kehidupan kolektif akan terjadi. Hubungan-hubungan simbolis bermunculan dan perasaan tentang sebuah “komunitas yang terbayangkan” disimpulkan secara post-factum. Maka gambar dan suara yang membawa gagasan dalam sebuah film berubah menjadi simbol dan tanda yang bicara karena keberadaan kontrak tak tertulis antara pembuat film dengan penonton. Kontrak tak tertulis itu bernama konteks (yang pasti berbeda antara satu penonton dan lainnya) yang selalu membatasi pembacaan bagi gambar dan suara yang ada di film.
Simbol itu tak serta merta muncul, ternyata. Pada beberapa film, gambar dan suara yang ada di layar tak mampu membangkitkan perasaan kolektif tentang satu komunitas utuh dan solid yang “terbayangkan” yang bernama “Indonesia”. Nagabonar Jadi 2 dan Kala memicu bayangan itu tentu karena mereka berhasil menghadirkan hal-hal yang dirasakan menjadi agenda bagi sebagian penonton yang mengeluarkan komentar di atas tadi. Mari kita lihat bagaimana hal itu terjadi.
Nagabonar yang Romantis
Nagabonar datang dari Lubukpakam, kota kecil yang berbatasan dengan kota Medan. Ia berlatarbelakang seorang bekas pejuang kemerdekaan yang kini menjadi pengusaha kebun kelapa sawit. Ia pergi ke Jakarta untuk sebuah urusan bisnis yang melibatkan anaknya sendiri, Bonaga. Sesampai di Jakarta, Nagabonar harus menemukan kenyataan kehidupan Indonesia kontemporer yang urban dan kosmopolit ternyata sama sekali berbeda dari Indonesia yang dibayangkannya. Nagabonar kehilangan orientasi dan bingung. Ia tak mampu memahami Indonesia yang ia perjuangkan dengan taruhan nyawa dahulu.
Dengan menggunakan tokoh ini, Deddy Mizwar mengajukan berbagai dikotomi yang hidup berdampingan pada Indonesia kontemporer. Nagabonar kemudian membawa simbol-simbol ke-Indonesiaan yang dikenalnya ke sebuah Indonesia baru, Indonesia yang modern (atau post-modern?), urban, terbuka untuk modal asing, akrab dengan teknologi dan penuh gairah.
Dalam film ini, Nagabonar menjadi tokoh di pinggiran yang dengan asing mengamati Indonesia baru baginya itu. Ia melihat hilangnya nilai-nilai ke-Indonesiaan yang ia ketahui. Maka ia menilai bahwa ke-Indonesiaan harus dikembalikan (paling tidak bagi dirinya sendiri) dengan memaksakan diri menghormat kepada bendera merah putih pada saat upacara bendera atau menurunkan tangan patung Jendral Soedirman yang menghormat pada kendaraan roda empat atau nyekar ke makam prajurit tak dikenal.
Di sini Nagabonar berhasil menyajikan sebuah gambaran jujur satu generasi yang merasa rindu pada ungkapan-ungkapan ke-Indonesiaan yang melandaskan diri pada mitos-mitos yang sudah ada, mudah dikenali dan diproduksi-ulang guna mendaku identitas Indonesia dalam konteks negara bangsa. Karena membawa pandangan masa lalu ini, maka Nagabonar terasa anakronistik.
Selain itu ia menjadi tidak kritis terhadap mitos yang dikembangkan pada masa Orde Baru sebagai alat manipulasi dan mobilisasi politik. Nagabonar ikut mewakili gambaran pemujaan terhadap militerisme yang diidentikkan dengan nasionalisme. Ini adalah sebuah mitos yang digunakan Orde Baru untuk melestarikan kekuasaan. Negara Indonesia dalam pandangan Nagabonar tahun 2007 ini dihasilkan lewat perjuangan bersenjata yang cenderung mewakili pandangan militeristik yang menurut Doktor ilmu politik Salim Said dalam disertasinya, The Genesis of Power, menjadi asal muasal pembenaran bagi dwifungsi ABRI yang problematis itu.
Pandangan terakhir ini adalah perpanjangan dari mitos-mitos perjuangan kemerdekaan sebagai sebuah keberhasilan mobilisasi rakyat ke dalam perjuangan bersenjata yang menjadi dasar berdirinya TNI. Hal inilah yang dalam politik praktis diwujudkan dalam doktrin yang melandasi lahirnya dwi-fungsi pada masa Orde Baru yang tak memisahkan antara yang militer dan bukan militer; sekaligus mensubordinasi penggambaran perjuangan non-militer dalam sejarah-sejarah formal seperti yang digambarkan dalam film-film tentang periode kolonial yang diproduksi oleh lembaga negara seperti PFN.
Agaknya pandangan Deddy Mizwar ini mewakili kerinduan terhadap ke-Indonesia-an yang ajeg dan bisa diwariskan, sebagaimana halnya gambaran mengenai Indonesia pada masa Orde Baru. Indonesia adalah sesuatu yang tak perlu dipertanyakan kesatuan ruang dan gagasannya. Ia sudah selesai. Maka pewarisan kepada generasi baru sangat penting agar nilai-nilai lama mengenai Indonesia bisa terus bertahan.
Namun Nagabonar dalam Nagabonar akhirnya putus asa. Ia memilih untuk menyerah dan menyatakan bahwa penilaiannya memang anakronistik. Ia mengaku bahwa ia tak mampu memahami Indonesia yang baru ini sehingga tak mungkin baginya mewariskan gambaran Indonesia lama itu kepada generasi baru ini. Ia menyerahkannya pada anakya.
Hanya sayangnya, pewaris itu, Bonaga dalam film ini, adalah semacam salinan-tak-sempurna (copycat) dari Nagabonar. Itulah kenapa film ini berjudul Nagabonar Jadi 2. Bahkan dalam urusan berpacaran sekalipun, Bonaga kalah dari sang ayah karena pacar Bonaga, Monita, lebih dulu mencium Nagabonar, padahal Monita belum pernah mencium Bonaga. Tampanya Deddy Mizwar bisa berlega hati menyerahkan “Indonesia” kepada Bonaga karena Bonaga menolak menyuap, tak merokok, anti main perempuan, sopan dan seterusnya. Selain itu, Bonaga pun kalah hebat dibandingkan dengan Nagabonar.
Metafora Kala
Jika Joko Anwar adalah semacam Bonaga (dari segi usia mungkin cocok), maka ia menyimpang jauh dari yang didefinisikan Nagabonar. Joko menentukan sendiri kanvas yang harus dilukisnya ketimbang meneruskan lukisan yang pernah dibuat Deddy Mizwar. Kala punya titik berangkat yang beda dengan Nagabonar. Kala adalah sebuah gambaran mengenai bercampurnya fakta dan mitos, kenyataan dan khayalan, medium dan pesan, kelangkaan dan kelimpahan, masa kini dan masa lalu, dan seluruhnya yang membentuk sebuah Indonesia yang obskur, yang tidak jelas dan jauh dari definitif.
Maka, simbol-simbol Indonesia seperti yang dibawa oleh Nagabonar sama sekali berada di luar pola pikir Kala. Kala bicara secara induktif tentang Indonesia dengan menggunakan perlambang dan umpama. Tak ada konsep-konsep yang sudah lebih dulu ada (dan karenanya bisa diwariskan) tentang Indonesia. Pada Kala, yang ada adalah fakta demi fakta yang dihadirkan terlalu jelas untuk tak disimpulkan sebagai Indonesia. Indonesia muncul sebagai sebuah kesimpulan dari kumpulan perlambang dan umpama yang dihadirkan oleh Joko Anwar sepanjang film itu semata-mata karena Joko tak bisa menghindar dari kenyataan bahwa ia dilahirkan di Indonesia.
Kala menjadi karya yang menarik karena ia sepenuhnya sadar akan bentuk. Hal ini bertolak belakang dengan Nagabonar yang sepenuhnya terfokus pada muatan dan terasa abai pada bentuk. Kala adalah pameran gaya dan bercampurnya gaya dan muatan yang ingin disampaikan. Kala dengan sadar membengkok-bengkokkan film yang dibuat dengan formula baku (biasa disebut film genre) dan mengungkapkannya dengan teknik sinematografi, editing, tata suara, tata musik, dan seluruh aspek teknis yang terasa betul ditujukan untuk mencapai kesempurnaan bentuk.
Itu semua bukan tanpa alasan. Bentuk sudah sama pentingnya dengan muatan pada generasi Joko Anwar. Keduanya tak terpisah dan kesadaran untuk bermain dengan bentuk adalah semacam pernyataan artistik sang kreator, dan Joko Anwar (jangan lupa bahwa ia bekas kritikus film –atau masih?) sadar betul dengan permainan bentuk semacam ini. Bentuk-bentuk yang dipermainkan oleh Joko bahkan lebih banyak (jika tak semua) adalah bentuk khazanah film dunia, ketimbang film Indonesia yang pernah populer. Maka, ketimbang mendaur ulang (dan membengkokkan) film-film Warkop Dono-Kasino-Indro atau Nyi Blorong atau Bing Slamet, Joko malahan membengkokkan formula dari genre noir, slasher movie dan sebagainya. Khazanah dunia tampak sama definitifnya dengan khazanah Indonesia, bagi Joko. Sumber menjadi non-faktor.
Dengan begitu, Indonesia yang diungkapkan secara metaforis ini, tampil arbitrer. Tak tampak usaha Joko untuk membuat filmnya menampilkan “Indonesia”. Properti, lokasi dan pencahayaan dalam Kala bisa terjadi di lokasi mana saja di dunia. Kala tak terlihat seperti Indonesia baik dalam tampilan visual maupun cara ucap. Joko hanya sadar bahwa ia berkarya di Indonesia, dan filmnya ditujukan (untuk menghibur) orang Indonesia dan ia tak bisa lepas dari kenyataan itu.
Namun pertanyaannya: kenapa Indonesia pada Kala harus berbentuk metafora? Pada Nagabonar, tentu saja Indonesia harus realis karena ia sedang ingin romantis; membayangkan sebuah masa lalu yang hilang. Tetapi mengapa Kala harus metaforis? Alasan pertama, tentu soal eksplorasi bentuk yang sangat nyaman dengan dengan cara tutur metaforis seperti itu. Namun bisa jadi ada alasan lain karena pada Kala, Joko sedang menawarkan sebuah gagasan yang terlalu sulit diungkapkan dengan telanjang. Ia sedang mengajukan pertanyaan: bagaimana apabila orang yang berhasil membawa bangsa ini keluar dari masalahnya adalah orang yang berbeda pendapat dengan kaum mayoritas? Mungkin secara lebih eksplisit: bagaimana apabila di negara mayoritas muslim yang sedang gencar menegakkan syariat Islam ini orang yang mampu menjadi penyelamat adalah seorang homoseksual?
Pertanyaan ini memang terlalu tajam untuk ditanyakan secara terbuka. Maka metafora, pasemon, adalah sebuah jalan keluar yang paling layak untuk itu. Namun apakah pasemon itu tertangkap? Simbolisme Joko terlalu rumit dan sumir sehingga ia terasa seperti tak terlalu mementingkan muatan itu. Jika ia benar-benar merasa bahwa muatannya harus sampai kepada penonton, tentu ia akan menggunakan metafora yang lebih mudah ditangkap penonton.
Di sinilah terasa bahwa Nagabonar dan Kala sama-sama gagal berurusan dengan ke-Indonesiaan yang sekarang, yang kontemporer. Nagabonar gagal karena ia tak mengenali lagi Indonesia kontemporer dan akhirnya menyerah kalah padanya. Ketika ia menatap Indonesia yang sekarang, ia berpaling ke nilai-nilai lama, karena itulah yang bisa ia kenal. Sedangkan Indonesia yang sekarang ia percayakan saja pada anaknya, yang ia yakini sudah ia didik sebaik yang ia bisa (sekalipun ia merasa gagal).
Pada Kala, bisa jadi Indonesia kontemporer mengandung resiko terlalu besar untuk dibicarakan terbuka. Sikap penghindaran untuk membicarakan soal itu secara terbuka adalah sebuah self-censorship –tapi, apa gunanya self-censorship semacam itu ketika muatan memang sangat penting untuk disampaikan? Atau soalnya bukan self-censorship, tapi memang Joko Anwar menghindar saja dari membicarakan Indonesia ataupun menempuh risiko karena ia memang sedang bersenang-senang dengan eksperimen bentuk?
Relevansi ke-Indonesia-an
Deddy Mizwar dan Joko Anwar, keduanya gagal menggambarkan atau memberi pemecahan baru bagi Indonesia kontemporer, sekalipun mereka bicara tentang Indonesia. Nagabonar lebih suka menoleh masa. Kala tak berani menatap masa kini dan beralih ke metafor. Keduanya memang berbicara tentang Indonesia, sengaja atau pun tidak.
Keduanya akhirnya punya nilai artikulatifnya sendiri pada khalayaknya masing-masing. Bukan sekadar sebagai hiburan, tapi juga sebagai pertanyaan besar kepada mereka tentang ke-Indonesiaan yang pernah mereka kenali atau ingin mereka pegang. Di satu sisi, ada kebutuhan akan romantisme mengenai ke-Indonesia-an. Di sisi lain, ada kebutuhan pendefinisian baru dari apa yang mereka lihat sehari-hari, tapi tak mampu untuk dinyatakan dengan jelas, apa sesungguhnya yang mereka lihat.
“Indonesia” dalam kedua film ini ada di kejauhan yang tak tertangkap. Kilasan itu menghasilkan kerinduan ketika pendefinisian Indonesia menjadi makin sulit dan makin tak terasa diurusi oleh siapa-siapa. Tiap orang harus mencari sarana pendefinisiannya sendiri yang bertaburan. Mungkin akhirnya orang harus memilih sesuatu yang paling dekat dan paling nyaman dengan diri mereka. Maka kedua orang penonton film itupun berkomentar: “sesudah menonton film ini, saya bangga menjadi orang Indonesia.”***
“Pasemon” adalah istilah yang dipopulerkan dalam kajian sastra Indonesia oleh Goenawan Mohamad. Pada mulanya, istilah ini dilontarkan Goenawan untuk menjelaskan estetikanya dalam sebuah pidato sambutan atas sebuah anugerah sastra yang ia terima. Pidato ini dikembangkan jadi sebuah esai panjang, dan dimuat dalam kumpulan esai Goenawan Mohamad, Sastra dan Kekuasaan. Kata “pasemon” sendiri diambil dari sebuah kata bahasa Jawa, yang kurang lebih menggambarkan sifat mengisyaratkan pada sesuatu, penyamaran, juga semacam sindiran.
Label:
film indonesia
Film Jomblo Online
Dalam filmnya yang pertama, Ungu Violet, Rizky Hanggono bilang: “Hanya keledai yang bikin kesalahan dua kali, Dok.”? Saya tidak tahu apakah penulis skenarionya memang ngelakuin riset, dan nemuin bahwa keledai selalu bikin kesalahan dua kali. Yang saya tahu, Rizky sudah mengulang kesalahannya: main film lagi.
Tapi, akting Rizky yang bikin penonton miris (sampe membuat saya kasihan padanya) adalah masalah terkecil yang mesti saya hadapi waktu nonton Jomblo.
Setelah Realita, Cinta dan Rock n Roll membuat kami berpikir kalau datang ke bioskop untuk nonton film Indonesia adalah aman, sekarang muncul sebuah film yang membuat kami kembali ragu tentang masa depan film Indonesia.
Jomblo adalah sebuah film komedi yang tasteless dan tak berkelas. Saya lebih milih ditampar bitch-slap sampe pening ketimbang mesti ngeliat Dennis Adhiswara menggaruk-garuk bijinya lagi. Sebuah majalah bilang kalau Jomblo adalah film yang sangat “memperhatikan kultur Indonesia.” Beda dengan beberapa film lokal lain yang “mencangkokkan sebuah konsep Amerika dan memaksakan sebuah plot ke sebuah Indonesia” (entahlah apa artinya). Mengingat majalah ini adalah majalah yang paling terkemuka di sini, berarti kita bisa menarik kesimpulan bahwa kultur Indonesia bisa disimpulkan dengan satu gesture: menggaruk biji. Nggak salah kalau banyak yang nganggap kalau Indonesia adalah negara yang kurang menghargai perempuan, mungkin karena kami tidak punya biji.
Saya nggak bisa ngejelasin kenapa banyak sekali orang Indonesia yang merasa cool kalau menentang “pencangkokan konsep Amerika” atau Hollywood dalam sebuah film. Banyak film Amerika cerdas yang menyamar sebagai film bodoh yang dipenuhi lelucon-lelucon jorok (American Pie, There’s Something About Mary) dan karakter-karakter bodoh yang kerjanya cuman mengisap ganja (Harold and Kumar Go To White Castle). Sayangnya, Jomblo sepertinya dibikin oleh orang-orang kurang cerdas yang bahkan nggak tau kalo ganja nggak memberikan efek halusinasi. Paling bikin laper.
Parahnya lagi, seperti halnya yang terjadi dengan Garasi, film ini dijangkiti Orde Baru Syndrome sehingga berpikir bahwa sebuah film mesti membawa pesan moral (istilah “kritik yang membangun”? juga termasuk dalam syndrome ini). Ketimbang bercerita, Jomblo malah menguliahi kita sepanjang film. Dalam satu adegan, salah satu karakter yang baru aja beli kondom buat ML sama ceweknya, membatalkan niatnya setelah ngeliat sepasang cowok-cewek pulang dari mesjid. Yang paling bener, cara yang paling bagus buat bikin seorang cowok hilang nafsu adalah dengan nonton Jomblo karena film ini turn-off dengan dialog-dialog yang (maunya) intelijen dan (maunya) puitis yang kayaknya dikumpulin dari stiker-stiker murah tahun 80′an seperti: “Cinta bisa memilih, tapi cinta tidak bisa menunggu.” Nunggu bus.
Tunggu sampai adegan di mana Christian Sugiono bertengkar dengan Rizky Hanggono gara-gara seorang perempuan.
Rizky: Aku membuat puisi terindah untuknya!
Christian: Aku membuat lagu untuknya!
Rizky: Dia bidadari pagiku!
Christian: Dia dewi malamku!
Di scene berikutnya, Christian Sugiono nyanyi sambil main gitar: “Dewi malamkuuuu…“
Usaha filmmakernya untuk memberikan style pada filmnya, termasuk beberapa animasi 2-D, memang harus dihargai biarpun jarang yang berhasil.
Yang bisa dicatet adalah penampilan dari aktor baru Ringgo Agus Rahman yang mainnya rileks dan bagus banget. Juga Nadia Saphira yang main sebagai pacar Ringgo. Karena mereka berdua, saya hampir bisa (hampir, lho) memaafkan penampilan Dennis Adhiswara yang over-acting to the point di mana saya merasa eneg. Rizky Hanggono, hmmm… mending jadi pacar gue aja deh. Come to mama…
Tergantung dari selera humor anda, anda bisa tertawa terbahak-bahak atau anda bisa mual dan lari keluar bioskop dan bergegas pulang buat nonton Bajaj Bajuri yang bener-bener lucu sebagai obat. Judge it for yourself. Tapi buat kami, mendingan nonton Bajaj Bajuri. Jauh.
Sebuah debut penyutradaraan yang tidak menjanjikan dari Hanung Bramantyo… Apa? Ini bukan film pertamanya?… Masa sih?… Apa? Dia menang piala Citra? Bohong ah… Kamu tukang bohong… (Nanda Meilani)
Film Angling Dharma - Wasiat Naga Bergola Online
“Video Angling Dharma – Wasiat Naga Bergola” dipersembahkan oleh PT. Genta Buwana Pitaloka Film Production, Producer : Budi Sutrisno, Cerita Skenario : Imam Tantowi, Desain Artisitik : El Badrun. Pimpinan Produksi : N Sindhu Dharma, Penata Artisitik : Abdullah Sajad, Penata Busana & Rias : Dahlan Harun, Penata Fotografi : H Asmawi, Penata Kamera : H Asmawi, H Akram N, Penata Suara : FX Sumpeno, Penata Musik : Harry Sabar, Editor : R Pramono, Herry Kurniawan, Co Sutradara : El Badrun, Sutradara Laga : Eddy S. Jonathan, Sutradara : Imam Tantowi.
Label:
pendekar
SANG PENCERAH - FILM BIOSKOP
Tanggal Rilis : 8 September 2010 (Indonesia)
Jenis Film : Biography | Drama
Diperankan Oleh : Lukman Sardi, Zaskia Adya Mecca and Slamet Rahardjo
Ringkasan Cerita FILM SANG PENCERAH (2010) :
Sepulang dari Mekah, Darwis muda (Ihsan Taroreh) mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan. Seorang pemuda usia 21 tahun yang gelisah atas pelaksanaan syariat Islam yang melenceng ke arah Bid’ah /sesat.
Melalui Langgar/Surau nya, Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) mengawali pergerakan dengan mengubah arah kiblat yang salah di Masjid Besar Kauman yang mengakibatkan kemarahan seorang kyai penjaga tradisi, Kyai Penghulu Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo) sehingga surau Ahmad Dahlan dirobohkan karena dianggap mengajarkan aliran sesat. Ahmad Dahlan juga di tuduh sebagai kyai Kafir hanya karena membuka sekolah yang menempatkan muridnya duduk di kursi seperti sekolah modern Belanda.
Ahmad Dahlan juga dituduh sebagai kyai Kejawen hanya karena dekat dengan lingkungan cendekiawan Jawa di Budi Utomo. Tapi tuduhan tersebut tidak membuat pemuda Kauman itu surut. Dengan ditemani isteri tercinta, Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca) dan lima murid murid setianya : Sudja (Giring Nidji), Sangidu (Ricky Perdana), Fahrudin (Mario Irwinsyah), Hisyam (Dennis Adishwara) dan Dirjo (Abdurrahman Arif), Ahmad Dahlan membentuk organisasi Muhammadiyah dengan tujuan mendidik umat Islam agar berpikiran maju sesuai dengan perkembangan zaman.
Label:
Film Drama,
islam
CALON PRESIDEN - FILM BIOSKOP ONLINE
Berawal dari sebuah penangkapan oleh KPK yang mengakibatkan penahanan seorang pemimpin partai politik yang maju sebagai calon presiden. Akhirnya mereka memutuskan mencari orang yang bisa dijadikan boneka dengan kriteria yang kacangan dan tidak masuk akal mereka mencari pemimpin yang bisa menjadi tumbal dan hanya sebagai alat mereka mencari keuntungan dengan kriteria lugu. Sampai mereka menemukan seorang staf administrasi kantor yang lugu dan mau diangkat sebagai karyawan di kantor tersebut dengan gaji 2 juta lima ratus, dia sangat bahagia sekali, dengan tugas yang sangat mudah.
Masalah muncul saat perasaan dan kata hati mulai bertanya, benarkah apa yang dia lakukan, karena dia melihat secara terang-terangan kejahatan yang di lakukan sama teman-temannya di partai. Akhirnya si jujur menang, namun ada ancaman pada saat ingin dilantik menjadi presiden. Kejujuran tidak pernah benar dalam berpolitik, karena politik tidak pernah mau jujur.
Label:
C,
Film Drama